Jumat, 04 Mei 2012

EPISTEMOLOGI ILMU PENGETAHUAN


EPISTEMOLOGI ILMU PENGETAHUAN

Moh Kholid

Program Pasca Sarjana
Konsentrasi Pendidikan Agama Islam IAIN Sunan Ampel Surabaya
Jl. Jend. A. Yani 117 Surabaya Telp. / fax 031-8420118

ABSTRAK
Filsafat pengetahuan (Epistemologi) adalah cabang filsafat yang secara spesifik mengkaji hakikat Ilmu Pengetahuan. Ciri utama filsafat adalah sebab musabab yang paling akhir atau paling dalam, sedangkan ciri filsafat pengetahuan adalah mencari sebab musabab dengan bertitik tolak pada gejala-gejala pengetahuan dalam kehidupan sehari-hari. Sumber pengetahuan diperoleh melalui berfikir, indera, otoritas dan intuisi. Hakikat ilmu pengetahuan adalah upaya manusia untuk mendapatkan kebenaran dengan metode ilmiah atau metode keilmuan. Epistemologi memiliki keterkaitan dengan ilmu-ilmu lain seperti ilmu alam, ilmu sosial, agama dan seni sehingga melahirkan falsafah “ Ilmu tanpa agama adalah buta dan agama tanpa ilmu adalah lumpuh” Albert Einstein


Kata Kunci: epistemologi, indera, otoritas, intuisi











BAB I
PENDAHULUAN
A.  Latar Belakang Masalah
Pembahasan tentang strategi ilmu dengan cara yang benar, ini dibahas dalam filsafat ilmu. Yang mana didalamnya telah terdapat beberapa pembahasan mengenai ilmu pengetahuan (theory of knowladge) yang membahas tentang syarat-syarat untuk mencapai pengetahuan ilmiah yang harus diikuti dalam mencari ilmu pengetahuan yang ilmiah. Filsafat ilmu merupakan telaah secara filsafat yang ingin menjawab beberapa pertanyaan seperti: Bagaimana proses yang memungkinkan ditimbanya pengetahuan yang berupa ilmu? Bagaimana prosedurnya? Hal-hal apa yang harus diperhatikan agar kita mendapatkan pengetahuan yang benar? Apa yang disebut kebenaran itu sendiri? Apakah kriterianya? Cara/teknik/sarana apa yang membantu kita dalam mendapatkan pengetahuan yang berupa ilmu? Pertanyaan-pertanyaan tersebut dibahas dalam bahasan epistemologis.
Secara epistemologis pertanyaan filosofisnya adalah dari mana asal pengetahuan dan bagaimana memperolehnya? Apabila yang dihadapi ilmu, pertanyaannya akan sama. Oleh karena itu pengetahuan merupakan obyek epistemologis. Adapun ciri penting dari epistemologi adalah pengkajiannya terhadap berbagai ide tentang ilmu pengetahuan. Menindak lanjuti hal tersebut, dalam makalah yang sederhana ini akan diuraikan tentang mengetahui dan memahami epistemology ilmu pengetahuan yang diuraikan sebagaimana rumusan masalah berikut ini.

BAB II
PEMBAHASAN
1.    Epistemologi
Definisi Epistemologi
Istilah Epistemology  dipakai pertama kali oleh J. F ferriere yang maksudnya untuk membedakan antara dua cabang filsafat, yaitu epistemology dan ontology (metafisika umum ). Kalau dalam metafisika, pertanyaan pokoknya adalah ‘Apakah hal yang ada itu?’ maka pertanyaan dasar dalam epistemology adalah ‘Apakah yang dapat saya ketahui?’
Epistemologi berasal dari kata Yunani, episteme dan logos. Episteme biasa diartikan pengetahuan atau kebenaran dan logos  diartikan pikiran, kata, atau teori. Epistemologi secara etimologi dapat diartikan teori pengetahuan yang benar, dan lazimnya hanya disebut teori pengetahuan yang dalam bahasa Inggrisnya menjadi “theory of knowledge”.[1]
Sudarsono memberikan Istilah “ epistemologi “ di alam bahasa Inggris dikenal dengan istilah  “theory of knowledge”. Epistemologi berasal dari asal kata ‘episteme” dan “logos”. Episteme berarti pengetahuan, dan logos berarti teori.[2] Dalam rumusan yang lebih rinci disebutkan bahwa epistemology merupakan salah satu cabang filsafat yang mengkaji secara mendalam dan radikal tentang asal mula pengetahuan, struktur, metode, dan validitas pengetahuan.
Di samping itu terdapat beberapa istilah yang maksudnya sama dengan epistemology ialah :
a.       gnosiologi
b.      logika material
c.       criteriologi
Keseluruhan istilah tersebut di atas di dalam bahasa Indonesia pada umumnya disebut filsafat pengetahuan. Dalam rumusan lain disebutkan bahwa epistemology adalah cabang filsafat yang mempelajari soal tentang watak, batas-batas dan berlakunya ilmu pengetahuan; demikian rumusan yang diajukan oleh J.A.N  Mulder. Sebenarnya banyak ahli filsafat (filsuf)  maupun sarjana filsafat yang merumuskan tentang epistemology atau filsafat pengetahuan.[3]
Apabila keseluruhan rumusan tersebut direnungkan maka dapat dipahami bahwa prinsipnya epistemology adalah bagian filsafat yang membicarakan tentang terjadinya pengetahuan, sumber pengetahuan, asal mula pengetahuan, batas-batas, sifat metode dan keahlian pengetahuan. Oleh karena itu sistematika penulisan epistemology  adalah terjadinya pengetahuan, teori kebenaran, metode-metode ilmiah dan aliran-aliran teori pengetahuan.[4]
2.    Ilmu dan Pengetahuan : Sebuah Kajian Istilah
Definisi adalah pernyataan yang mengidentifikasikan hakikat unit yang termasuk dalam sebuah konsep, dan konsep sendiri bukanlah kata, namun konseplah yang didefinisikan melalui penspesifikasian acuan. Sedangkan tujuan definisi adalah untuk membedakan sebuah konsep dari konsep yang lain.[5] Sebelum penjabaran tentang perbedaan antara ilmu dan pengetahuan, perlu diuraikan beberapa pengertian pengetahuan, ilmu, science.
Pengetahuan
Istilah pengetahuan dapat ditinjau dari dua segi yakni:
1)      Segi semantik :
Dalam bahasa Inggris, “pengetahuan” berasal dari kata ‘Knowledge’. Dalam perkembangannya lebih lanjut di Indonesia, dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia “pengetahuan” disamakan artinya dengan ilmu atau sebaliknya Ilmu disamakan artinya dengan pengetahuan.[6] Selanjutnya, jika kita telusuri dalam bahasa Arab “pengetahuan” berasal dari kata ‘Ilmu yang berasal dari bahasa Arab ‘Alima (ia telah mengetahui).[7]
2)      Segi praktis :
Menurut M.J. Langeveld, Guru Besar pada Rijk Universiteit Utrecht menyatakan bahwa pengetahuan ialah kesatuan subyek yang mengetahui dan obyek yang diketahui. Suatu kesatuan dalam mana obyek itu dipandang oleh subyek sebagai diketahuinya. Terkait hal ini, disebutkan bahwa Burhanuddin Salam membagi jenis pengetahuan yang dimiliki manusia menjadi empat, yaitu pertama, pengetahuan biasa atau “common sense”, dan sering diartikan dengan good sense, Kedua, pengetahuan ilmu, Ketiga, pengetahuan filsafat, dan yang Keempat,  pengetahuan agama. [8]
Dan yang termasuk dalam pengertian “common sense”. Common sense diperoleh dari pengalaman sehari-hari, seperti air dapat dipakai menyiram bunga, makanan dapat memuaskan rasa lapar. Dengan common sense, semua orang sampai kepada keyakinan secara umum tentang sesuatu, dimana mereka akan berpendapat sama semuanya.[9]
Pengetahuan sehari-hari, “pengetahuan biasa” itu kebanyakan dangkal. Memang dengan pengetahuan bias orang dapat melakukan hidupnya sehari-hari. Tetapi dengan bertambahnya pengetahuan, dengan makinluasnya lapangan pengalaman, dengan sulitnya kehidupan modern, makin tambah pula pertanyaan-pertanyaan yang dihadapi orang, sedangkan keterangan-keterangan yang lama tidak memuaskan dan mencukup lagi. Maka terasalah kekurangan pengetahuan biasa. Kekurangan, sebab pengetahuan biasa kurang terartur, kurang dipersatukan, terlalu tercerai berai, tidak lengka, dan fragmentaris saja, kebanyakan diperoleh secara insindental, masih banyak terpengaruh oleh fantasi dan perasaan, dan terutama masih banyak kekeliruannya bahkan sering sama sekali salah ( misalnya, anggapan orang bahwa matahari mengelilingi bumi).
Dan karena manusia tak hanya “mengerti saja” melainkan pula mengerti bahwa ia mengerti, maka dapatlah pula menyempurnakan pengetahuannya. Ia dapat mengadakan pengawasan terhadap pengetahuannya sendiri, menyempurnakan cara-cara dan alat-alat untuk menangkap obyek agar terhindarkan dari kekeliruan dalam penyelidikannya. Timbullah hasrat untuk mengikhtisar segala-galanya secara obyektif dan sistematis hingga sangkut pautnya satu sama lain kentara. Timbullah usaha mencari prinsip hingga unsure yang tetap didalam kebanyak ragaman dapat dikemukakan dengan jelas dan tercaopailah pengetahuan yang lebih mendalam. Pendek kata timbullah ilmu pengetahuan.[10]
Berbeda dengan Jujun S, Suriasumantri, yang dengan tegas menyatakan dalam bukunya ‘FILSAFAT ILMU  Sebuah Pengantar Populer’  menegaskan bahwa apa yang kita peroleh dalam proses mengetahui tersebut tanpa memperhatikan proses mengetahui tersebut tanpa memperhatikan obyek, cara dan kegunaannya kita masukkan ke dalam kategori yang disebut pengetahuan ini. Selanjutnya Jujun S, Suriasumantri, apa yang kita peroleh dalam proses mengetahui tersebut dengan memperhatikan obyek, cara dan kegunaannya, maka pengetahuan tersebut dalam kategori bentuk pengetahuan yang dalam bahasa Inggris disebut dengan istilah Science.
Jadi menurut Jujun S, Sumantri, terminology pengetahuan ini merupakan terminology yang bersifat generic sebagai alat analisis yang pada pokoknya diartikan sebagai keseluruhan bentuk dari kegiatan manusia dalam usaha mengetahuisesuatu. Sementara science adalah bentuk pengetahuan yang bersifat spesifik yang mempunyai obyek ontologism, landasan epistemologis, dan landasan aksiologis yang khas.[11]

Ilmu
Istilah ilmu dapat ditinjau dari dua segi yakni :
1)      Segi semantik :
Kata ilmu berasal dari bahasa arab, a’lama yang berarti pengetahuan. Kata ini sering disejajarkan dengan kata sciensce dalam bahasa inggris, tetapi ia merupakan serapan dari bahasa latin, scio, scire yang arti dasarnya pengetahuan. Ada juga yang menyebutkan bahwa scientia yang berarti pengetahuan dan aktivitas mengetahui. (Sidi Ghazalba, 1973:41).[12]
Kata ilmu berasal dari bahasa arab alima ya’lamu yang berarti mengerti, memahami benar-benar.[13] Dalam arti ilmu berarti sesuatu cabang ilmu khusus seperti misalnya antropologi, biologi, geografi, atau sosiologi. Istilah Inggris ‘science’ kadang-kadang diberi arti sebagai ilmu khusus yang lebih terbatas lagi, yakni sebagai pengetahuan sistematis mengenai dunia fisis atau material (systematic knowledge of the physical or material world).[14]
2)      Segi praktis :
Dibawah ini penulis sampaikan serangkaian definisi tentang ilmu (science) oleh dari berbagai literature:
a.       Charles Singer : “Science is the process which makes knowledge”. (ilmu adalah suatu proses yang dilakukan manusia untuk menghasilkan pengetahuan.)
b.      Churhman, C. West & Russel L. Ackoff : “Science is efficien inquiry. (ilmu adalah penyelidikan yang efisien)[15]
c.       Bahm, Archie : “Science is a name for man’s attempt to uanderstand the nature on things by formulating hypotheses or theories about such natures and by testing them, observationally or experimentally, to see whether or not they hold.” ( Ilmu adalah sebuah nama bagi usaha manusia untuk memahami sifat dasar berbagai hal dengan jalan merumuskan hipotesis-hipotesis atau teori-teori tentang sifat dasar itu dan mengujinya secara pengamatan atau percobaan untuk mengetahui apakah berlaku atau tidak.)[16]
d.      Prof. Dr. C.A. van peursen : Ilmu atau Ilmu pengetahuan adalah seluruh usaha sadar untuk mnyelidiki, menemukan dan meningkatkan pemahaman manusia dari berbagai segi kenyataan dalam alam manusia.[17]
e.       H. Endang Saifuddin Anshari MA : ilmu adalah usaha pemahaman manusia yang disusun dalam satu system mengenai kenyataan, struktur, pembagian, bagian-bagian dan hukum-hukum  tentang hal-ikhwal yang diselidiki (alam, manusia, dan agama) sejauh yang dapat dijangkau daya pemikiran yang dibantu penginderaan manusia itu, yang kebenarannya diuji secara empiris, riset dan eksperimental.[18]
Dari beberapa definisi tentang ilmu di atas, bila ditinjau dari segi maknanya menunjukkan sekurang-kurangnnya tiga hal, yakni aktivitas, metode, dan pengetahuan. Tetapi, pengertian ilmu sebagai aktivitas, metode, dan pengetahuan itu lebih mendalam sesungguhnya tidak bertentangan. Bahkan sebaliknya, ketiga hal itu merupakan kesatuan yang logis yang mesti ada secara berurutan. Ilmu harus diusahakan dengan aktivitas manusia, aktivitas itu harus dilaksanakan dengan metode tertentu, dan akhirnya aktivitas metodis itu mendatangkan pengetahuan yang sistematis. Kesatuan dan interaksi di antara aktivitas, metode, dan pengetahuan yang boleh dikatakan menyusun diri menjadi ilmu dapatlah digambarkan dalam suatu bagan segitiga sebagai berikut di bawah ini ;[19]  

Aktivitas


Ilmu

                        Metode                                               Pengetahuan

Ilmu harus diusahakan dengan aktivitas manusia, aktivitas itu harus dilaksanakan dengan metode tertentu, dan akhirnya aktivitas metodis itu mendatangkan pengetahuan yang sistematis.[20]
Pemahaman ilmu sebagai aktivitas, metode, dan pengetahuan itu dapat diringkas menjadi bagan sebagai berikut :
                         Sebagai proses : aktivitas penelitian
Penger
tian                   Sebagai prosedur : metode ilmiah
ilmu


                          Sebagai produk : pengetahuan sistematis


 


  1. Terjadinya Pengetahuan
Masalah terjadinya pengetahuan adalah masalah yanag sangat urgen untuk dibahas di dalam Epistemologi, sebab orang akan berbeda pandangan terhadap terjadinya pengetahuan. Sebagai alat untuk mengetahui terjadinya pengetahuan menurut John Hospers dalam bukunya An Introduction to Philosophical Analysis mengemukakan ada enam hal, diantaranya:
a. Pengalaman Indera (Sense Experience)
Orang sering merasa penginderaan merupakan alat yang paling vital dalam memperoleh pengetahuan. Pengalaman indera merupakan sumber pengetahuan yang berupa alat-alat untuk menangkap objek dari luar diri manusia melalui kekuatan indera. Kekhilafan akan terjadi apabila ada ketidak normalan antara alat-alat itu. Ibn Sina mengutip ungkapan filosof terkenal Aristoteles menyatakan bahwa barang siapa yang kehilangan indra-indranya maka dia tidak mempunyai makrifat dan pengetahuan. Dengan demikian bahwa indra merupakan sumber dan alat makrifat dan pengetahuan ialah hal yang sama sekali tidak disangsikan. Hal ini bertolak belakang dengan perspektif Plato yang berkeyakinan bahwa sumber pengetahuan hanyalah akal dan rasionalitas, indra-indra lahiriah dan objek-objek fisik sama sekali tidak bernilai dalam konteks pengetahuan. Dia menyatakan bahwa hal-hal fisikal hanya bernuansa lahiriah dan tidak menyentuh hakikat sesuatu. Benda-benda materi adalah realitas-realitas yang pasti sirna, punah, tidak hakiki, dan tidak abadi.
  1. Nalar (Reason)
Nalar adalah salah satu corak berfikir dengan menggabungkan dua pemikiran atau lebih dengan maksud untuk mendapatkan pengetahuan baru. Salah satu tokoh dari paham ini adalah Plato, seorang filosof Yunani yang dilahirkan di Athena. Plato berpendapat bahwa untuk memperoleh pengetahuan itu pada hakikatnya adalah dengan mengingat kembali.
  1. Otoritas (Authority)
Otoritas adalah kekuasaan yang sah yang dimiliki oleh seseorang dan diakui oleh kelompoknya. Otoritas menjadi salah satu sumber pengetahuan, karena kelompoknya memiliki pengetahuan melalui seseorang yang mempunyai kewibawaan dalam pengetahuannya. Pengetahuan yang diperoleh dari otoritas ini biasanya tanpa diuji lagi, karena orang yang telah menyampaikannya mempunyai kewibaan tertentu.
  1. Intuisi (Intuition)
Intuisi adalah kemampuan yang ada pada diri manusia berupa proses kejiwaan tanpa suatu rangsangan atau stimulus mampu untuk membuat pernyataan yang berupa pengetahuan. Pengetahuan yang diperoleh melalui intuisi tidak dapat dibuktikan seketika atau melalui kenyataan karena pengetahuan ini muncul tanpa adanya pengetahuan lebih dahulu. Menurut Mohamad Taufiq dalam sebuah tulisannya mengatakan bahwa intuisi adalah daya atau kemampauan untuk mengetahui atau memahami sesuatu tanmpa ada dipelajari terlebih dahulu dan berasal dari hati.
  1. Wahyu (Revelation)
Sebagai manusia yang beragama pasti meyakini bahwa wahyu merupakan sumber ilmu, Karena diyakini bahwa wahyu itu bukanlah buatan manusia tetapi buatan Tuhan Yang Maha Esa. Wahyu adalah berita yang disampaikan oleh Tuhan kepada nabi-Nya untuk kepentingan ummatnya. Kita mempunyai pengetahuan melalui wahyu, karena ada kepercayaan tentang sesuatu yang disampaikan itu. Wahyu dapat dikatakan sebagai salah satu sumber pengetahuan, karena kita mengenal sesuatu melalui kepercayaan kita.
  1. Keyakinan (Faith)
Keyakinan adalah suatu kemampuan yang ada pada diri manusia yang diperoleh melalui kepercayaan. Adapun keyakinan itu sangat statis, kecuali ada bukti-bukti yang akurat dan cocok untuk kepercayaannya.[21]
  1. Jenis-jenis Pengetahuan
Pengetahuan menurut Soejono Soemargono (1983 ) dapat dibagi atas:
    1. Pengetahuan nonilmiah.
    2. Pengetahuan Ilmiah.
Pengetahuan nonilmiah ialah pengetahuan yang diperoleh dengan menggunakan cara-cara yang tidak termasuk dalam kategori metode ilmiah. Dalam hal ini termasuk juga pengetahuan yang dalam tahap terakhir direncanakan untuk diolah menjadi pengetahuan ilmiah, yang bisanya disebut dengan istilah pengetahuan pra ilmiah.
Secara umum pengetahuan nonilmiah ialah segenap hasil pemahaman manusia atas sesuatu atau obyek tertentu dalam kehidupan sehari-hari. Dalam hal ini yang cocok adalah hasil penglihatan, hasil pendengaran, hasil pembauan, pengecapan lidah, dan perabaan kulit. Disamping itu, juga termasuk pemahaman yang merupakan campuran dari hasil pencerapan secara indrawi dengan hasil pemikiran secara akali. Disisi lain, termasuk dalam kategori pengetahuan non-ilmiah hasil pemahaman manusia yang berupa tangkapan terhadap hal-hal yang gaib. Yang biasanya diperoleh dengan menggunakan intuisi, yang sering disebut pengethuan intuitif. Pengetahuan yang demikian ini diperoleh dengan mengunakan adi-indra atau adi-akal, dapat juga disebut istilah pengetahuan adi-indrawi atau pengetahuan adi-akali.
Adapun pengetahuan ilmiah adalah segenap hasil pemahaman manusia yang diperoleh dengan menggunakan metode-metode ilmiah. Pengetahuan ilmiah adalah pengetahuan yang sudah lebih sempurna karena telah mempunyai dan memenuhi syarat-syarat tertentu dengan cara berfikir yang khas, yaitu Metode ilmiah. Jujun S. Suriasumantri menambahkan bahwa metode ilmiah merupakan prosedur dalam mendapatkan pengetahuan yang disebut ilmu. Jadi ilmu merupakan pengetahuan yang didapat lewat metode ilmiah. Tidak semua pengetahuan dapat disebut ilmu, sebab ilmu merupakan pengetahuan yang cara mendapatkannya harus memenuhi syarat-syarat tertentu. Syarat-syarat yang harus dipenuhi agar suatu pengetahuan dapat disebut ilmu tercantum di dalam apa yang dinamakan metode ilmiah. (Jujun S. Surisumantri. 1996. Hal. 119).
Secara etimologi metode berasal dari kata Yunani methodos, sambungan kata depan meta (menuju, melalui, mengikuti, sesudah) dan kata benda hodos (jalan, perjalanan, cara, arah) kata methodos sendiri lalu berarti penelitian, metode ilmiah, hipotesis ilmiah, uraian ilmiah. Metode ialah cara bertindak menurut sistem/ aturan tertentu. (Surajiyo. 2008. Hal. 35). Jadi, Metode ilmiah adalah suatu kerangka landasan bagi terciptanya pengetahuan ilmiah. Dalam sains dilakukan dengan menggunakan metode pengamatan, eksperimen, generalisasi, dan verifikasi. Sedangkan dalam ilmu-ilmu sosial dan budaya, yang terbanyak dilakukan dengan menggunakan metode wawancara dan pengamatan. Pelaksanaan metode ilmiah ini meliputi enam tahap, yaitu:
1. Merumuskan masalah. Masalah adalah sesuatu yang harus diselesaikan.
2. Mengumpulkan keterangan, yaitu segala informasi yang mengarah dan dekat pada pemecahan masalah. Sering disebut juga mengkaji teori atau kajian pustaka.
3. Menyusun hipotesis. Hipotesis merupakan jawaban sementara yang disusun berdasarkan data atau keterangan yang diperoleh selama observasi atau telaah pustaka.
4. Menguji hipotesis dengan melakukan percobaan atau penelitian.
5. Mengolah data (hasil) percobaan dengan menggunakan metode statistik untuk menghasilkan kesimpulan. Hasil penelitian dengan metode ini adalah data yang objektif, tidak dipengaruhi subyektifitas ilmuwan peneliti dan universal (dilakukan dimana saja dan oleh siapa saja akan memberikan hasil yang sama).
6. Menguji kesimpulan. Untuk meyakinkan kebenaran hipotesis melalui hasil percobaan perlu dilakukan uji ulang. Apabila hasil uji senantiasa mendukung hipotesis maka hipotesis itu bisa menjadi kaidah (hukum) dan bahkan menjadi teori.
Metode ilmiah didasari oleh sikap ilmiah. Sikap ilmiah semestinya dimiliki oleh setiap penelitian dan ilmuwan. Adapun sikap ilmiah yang dimaksud adalah :
1. Rasa ingin tahu
2. Jujur (menerima kenyataan hasil penelitian dan tidak mengada-ada)
3. Objektif (sesuai fakta yang ada, dan tidak dipengaruhi oleh perasaan pribadi)
4. Tekun (tidak putus asa)
5. Teliti (tidak ceroboh dan tidak melakukan kesalahan)
6. Terbuka (mau menerima pendapat yang benar dari orang lain)[22]
Sedangkan jenis pengetahuan dapat diliat menurut pendapat Plato dan aristoteles. Plato membagi pengetahuan menurut tingkatan pengetahuan sesuai dengan karakteristik objeknya. Pembagiannya adalah sebagai berikut;
a.             Pengetahuan Eikasia (Khayalan)
Tingkatan yang paling rendah disebut pengetahuan eikasia, yakni pengetahuan yang objeknya berupa bayangan atau gambaran. Pengetahuan ini isinya adalah hal-hal yang berhubungan dengan kesenangan atau kesukaan serta kenikmatan manusia yang berpengetahuan. Pengetahuan dalam tingkatan ini misalnya seseorang yang menghayal bahwa dirinya pada saat tertentu mempunyai rumah yang mewah, besar, dan indah dilengkapi kendaraan dan lain-lain sehingga khayalan ini terbawa mimpi. Di dalam mimpi ia betul-betul merasa mempunyai dan menempati rumah itu. Apabila seseorang dalam keadaan sadar menganggap bahwa khayal mimpiya itu betul-betul berupa suatu fakta yang ada dalam dunia kenyataan.
b.            Pengetahuan Pistis (Subtansial)
Satu tingkat di atas eikasia adalah tingkatan pistis atau pengetahuan subtansial. Pengatahuan ini adalah pengetahuan mengenai hal-hal yang tampak dalam dunia kenyataan atau dapat diindra secara langsung. Objeknya pengetahuan pistis biasa disebut zooya karena isi pengetahuan semacam ini mendekati suatu keyakinan (kepastian yang bersifat sangat pribadi atau kepastian subjektif). Pengetahuan ini mengandung nilai kebenaran apabila mempunyai syarat-syarat cukup bagi suatu tindakan mengetahui, misalnya mempunyai pendengaran yang baik, penglihatan normal serta indra normal.
c.             Pengetahuan Dianoya (Matematik)
Pengetahuan dalam tingkatan ketiga adalah pengetahuan dianoya. Plato menerangkan tingkat pengetahuan ini ialah tingkat yang ada di dalamnya sesuatu yang tidak hanya terletak pada fakta atau objek yang Nampak, tetapi juga terletak pada bagaimana cara berfikirnya. Contoh yang dituturkan oleh Plato tentang pengetahuan ini adalah para ahli matematika atau geometri, di mana objeknya adalah matematika, yakni suatu yang harus diselidiki dengan akal budi melalui gambar-gambar, diagram kemudian ditarik suatu hipotesis. Hipotesis ini diolah terus hingga sampai pada kepastian. Dengan demikian, dapat dituturkan bahwa bentuk pengetahuan tingkat dianoya ini adalah pengetahuan yang banyak berhubungan dengan masalah matematik atau kuantitas luas, isi, jumlah, dan berat. Hal ini semata-mata merupakan suatu kesimpulan dari hipotesis yang diolah oleh akal piker karena pengetahuan ini disebut juga pengetahuan pikir.
d.            Pengetahuan Noesis (Filsafat)
Pengetahuan tingkat tertinggi disebut noesis, pengetahuan objeknya arche,yakni prinsip-prinsip utama yang mencakup epistemologis dan metafisik. Prinsip utama ini biasa disebut “IDE”. Plato menerangkan tentang pengetahuan ini adalah hamper sama dengan pengetahuan pikir, tetapi tidak lagi menggunakan pertolongan gambar, diagram melainkan dengan pikiran yang sungguh-sungguh abstrak. Tujuannya adalah untuk mencapai prinsip-prinsip utama yang isinya berupa kebaikan, kebenaran, dan keadilan. Menurut Plato, cara berpikir untuk mencapai tingkat tertinggi dari pengetahuan itu dengan menggunakan metode dialog sehingga dapat dicapai pengetahuan yang sungguh-sungguh sempurna yang biasa disebut  episteme. (Abbas Hamami M., 1980, hlm. 7-8)
Aristoteles mempunyai pendapat yang berbeda. Menurut Aristoteles, pengetahuan harus merupakan kenyataan yang dapat diindrai dan kenyataan adalah sesuatu yang merangsang budi kita kemudian mengolahnya. Aristoteles tidak membagi pengetahuan menurut tingkatannya melainkan menurut jenisnya sesuai dengan fungsi dari pengetahuan itu. Pengetahuan yang umumnya merupakan kumpulan dinamakan Rational Knowledge yang dipisahkan dalam tiga jenis, yaitu:
a.       Pengetahuan produksi (seni);
b.      Pengetahuan praktis (etika, ekonomi, dan politik);
c.       Pengetahuan teoretis (fisika, matematika, dan metafisika/filsafat pertama.[23]
  1. Asal-Usul Pengetahuan
Asal-usul pengetahuan adalah hal yang harus detahui oleh seseorang. Karena tanpa mengetahui asal-usul pengetahuanm tersebut, maka kita tidak berangkat dari pemahaman awal munculnya pengetahuan. Seorang yang berakal tentu ingin mengetahui tidak hanya apa pengetahuan tetapi juga bagaimana ia muncul. Keinginan ini dimotivasi sebagian oleh asumsi bahwa penyelidikan asal-usul pengetahuan dapat menjelaskannya. Oleh karena itu, penyelidikan semacam itu menjadi salah satu tema utama Epistemologi dari zaman Yunani kuno sampai sekarang. Untuk mendapatkan dari mana pengetahuan itu muncul bisa dilihat dari aliran-aliran dalam pengetahuan.
Aliran-aliran dalam pengetahuan, diantaranya adalah:
a. Rasionalisme
Rasionalisme adalah aliran yang memandang bahwa yang menjadi dasar pengetahuan adalah akal fikiran manusia. (Darwis A. Soelaiman. 2007. Hal 68). Pengalaman hanya dapat dipakai untuk meneguhkan pengetahuan yang didapat oleh akal. Salah satu tokoh aliran aini adalah Rene Descartes. Beliau memebedakan 3 ide yang ada di dalam diri manusia, yaitu: 1. Inneate ideas (bawaan yang dibawa manusia sejak lahir), 2. Adventitious ideas (ide-ide yang berasal dari luar diri manusia), dan 3. Factitious ideas (ide-ide yang dihasilkan oleh fikiran itu sendiri).
b. Empirisme
Empirisme tercipta dalam himpunan sosial pada masyarakat Inggris dan Amerika, sekalipun pandangan ini sebetulnya sudah ada sejak Aristoteles. Pempirisme tertuju kepada keduniawian. (Darwis A. Soelaiman. 2007. Hal. 77). Aliran ini berpendapat bahwa empiris atau pengalamanlah yang menjadi sumber pengetahuan. Akal bukan menjadi sumber pengetahuan, tetapi akal mendapat peran sebagai yang mengolah bahan-bahan yang diperoleh oleh pengalaman.
c. Kritisisme
Aliran yang dikenal dengan kritisisme adalah aliran diintrodusir oleh Iummanuel Kant, seorang filosof Jerman yang dilahirkan di Konigserg, Prusia Timur, Jerman. Aliran ini memulai pelajarannya dengan menyelidiki batas-batas kemampuan rasio sebagai sumber pengetahuan manusia. (Juhaya S. Praja. 2005. Hal. 114). Pertentangan antara Rasionalisme dan Empirisme hendak diselesaikan oleh Immanuel Kant dengan kritisismenya. Salah satu ciri dari kritisisme adalah menjelaskan bahwa pengenalan manusia atas sesuatu itu diperoleh atas perpeduan antara peranan unsur Anaximenes priori yang berasal dari rasio serta berupa ruang dan waktu dan peranan unsur aposteriori yang berasal dari pengalaman.
d. Positivisme
Positivisme berasal dari kata “positif”. Kata positif di sini sama artinya dengan faktual, yaitu apa yang berdasarkan fakta-fakta. Menurut positivisme, pengetahuan kita pernah boleh melebihi fakta-fakta. Dengan denikian, maka ilmu pengetahuan empiris menjadi contoh terbaik dalam bidang pengetahuan. Tentu saja, maksud positivisme berkaitan erat dengan apa yang dicita-citakan oleh empirisme. Positivisme pun mengutamakan pengalaman.[24]

  1. Ciri-ciri Ilmu Pengetahuan
Dengan menilik persoalan keilmuan pada dasarnya masalah yang terkandung dalam ilmu adalah selalu harus merupakan suatu problema yang telah diketahuinya atau yang ingin diketahuinya, kemudian ada suatu penelitian agar dapat diperoleh kejelasan tentunya dengan mempergunakan metode yang relevan untuk mencapai kebenaran yang cocok dengan keadaan yang sesungguhnya. (abbas Hamami Mintaredja, 1980 ).
Ilmu Pengetahuan atau pengetahuan ilmiah menurut The Liang Gie (1987) mempunyai 5 ciri pokok:
a.       empiris, pengetahuan itu diperoleh berdasarkan pengamatan dan percobaan;
b.      sistematis, berbagai keterangan dan data yang tersusun sebagai kumpulan pengetahuan itu mempunyai hubungan ketergantungan dan teratur;
c.       objektif, ilmu berarti pengetahuan itu bebas dari prasangka perorangan dan kesukaan pribadi;
d.      analitis, pengetahuan ilmiah berusaha membeda-bedakan pokok soalnya ke dalam bagian yang terperinci untuk memahami berbagai sifat, hubungan, dan peranan dari bagian-bagian itu;
e.       verifikatif, dapat diperiksa kebenarannya oleh siapa pun juga.[25]
Sedangkan demi objektivitas ilmu, ilmuwan harus bekerja dengan cara ilmiah. Sifat ilmiah dalam ilmu dapat diwujudkan, apabila dipenuhi syarat-syarat yang intinya adalah:
a.       Ilmu harus mempunyai objek, ini berarti bahwa kebenaran yang hendak diungkapkan dan dicapai adalah persesuaian antara pengetahuan dan objeknya.
b.      Ilmu harus mempunyai metode, ini berarti bahwa untuk mencapai kebenaran yang objektif, ilmu tidak dapat bekerja tanpa metode yang rapi.
c.       Ilmu harus sistematik, ini berarti bahwa dalam memberikan pengalaman, objeknya dipadukan secara harmonis sebagai suatu kesatuan yang terartur.
d.      Ilmu bersifat universal, ini berarti bahwa kebenaran yang diungkapkan oleh ilmu tidak mengenai sesuatu yang bersifat khusus, melainkan kebenaran itu berlaku umum. (Hartono Kasmadi, dkk., 1990: 8-9)
Disamping itu yang perlu disadari, yakni ilmu bukanlah hal yang statis, melainkan bergerak dinamis sesuai dengan pengembangan yang diusahakan oleh manusia dalam mengungkapkan tabir alam semesta ini. Usaha pengembangan tersebut mempunyai arti juga bahwa kebenaran yang masih terbuka untuk diuji.[26]
  1. Beberapa Pandangan Mengenai “ Kebenaran “
Descartes merumuskan pedoman penyelidikan supaya orang jangan tersesat dalam usahanya mencapai kebenaran sebagai berikut:
Pertama:
Janganlah sekali-kali menerima sebagai kebenaran, jika tidak ternyata kebenarannya dengan terang benderang. Haruslah kita membuang segala prasangka dan janganlah campurkan apapun juga yang tak Nampak sejelas-jelasnya kepada kita, hingga tak ada dasar sedikitpun juga untuk sanksi.
Kedua:
Rincilah pikiran kesulitan sesempurna-sesempurnanya dan carilah jawaban secukupnya.
Ketiga:
Aturlah pikiran dan pengetahuan kita demikian rupa, sehingga kita mulai dari paling rendah dan sederhana, kemudian meningkat dari sedikit, setapak demi setapak untuk mencapai pengetahuan yang lebih sukar dan lebih ruwet.
Keempat:
Buatlah pengumpulan fakta sebanyak-banyaknya dan selengkap-lengkapnya dan seumum-umumnya hingga menyeluruh, sampai kita tidak khawatir kalau-kalau ada yang kelewatan. (Poedjawijatna, 1982, 26).[27]
  1. Cara Penemuan Kebenaran
Untuk dapat memperoleh pengetahuan yang benar pada dasarnya ada dua cara yang dapat ditempuh oleh manusia yaitu dengan cara nonilmiah dan cara ilmiah. Menurut ahli filsafat pengetahuan yang benar pada mulanya diperoleh melalui cara nonilmiah di banding dengan cara ilmiah, hal ini disebabkan oleh keterbatasan daya pikir manusia.
Pendekatan ilmiah menuntut dilakukan cara-cara atau langkah-langkah tertentu dengan perurutan tertentu pula agar dapat dicapai pengetahuan yang benar. Namun, tidak semua orang suka melewati tata tertib pendekatan ilmiah itu untuk sampai pada pengetahuan yang benar mengenai hal yang dipertanyakannya. Bahkan di kalangan masyarakat awam untuk memperoleh pengetahuan yang benar lebih baik suka menggunakan pendekatan noilmiah.
Ada beberapa cara yang dapat dilakukan manusia untuk memperoleh kebenaran melalui cara nonilmiah, di antaranya adalah:
a.       Akal sehat (common sence)
b.      Prasangka
c.       Pendekatan intuisi
d.      Penemuan kebetulan dan coba-coba
e.       Pendekatan otoritas ilmiah dan pikiran kritis.[28]














BAB III
PENUTUP

Dari penjelasan makalah di atas, dapat penulis simpulkan bahwa epistemology ilmu pengetahuan adalah merupakan salah satu cabang filsafat yang mengkaji secara mendalam dan radikal tentang asal mula pengetahuan, struktur, metode, dan validitas pengetahuan.
ilmu adalah rangkaian aktivitas penelaahan yang mencari penjelasan suatu metode untuk memperoleh pemahaman secara rasional empiris mengenai dunia ini dalam berbagai seginya, dan keseluruhan pengetahuan sistematis yang menjelaskan berbagai gejala yang ingin dimengerti manusia.
Ilmu harus diusahakan dengan aktivitas manusia, aktivitas itu harus dilaksanakan dengan metode tertentu, dan akhirnya aktivitas metodis itu mendatangkan pengetahuan yang sistematis.








DAFTAR PUSTAKA

Sudarsono, Ilmu Filsafat Suatu Pengantar , Rineka Cipta, 2001.
Surajiyo, Ilmu filsafat Suatu Pengantar, Bumi Aksara: 2009.
Ihsan Fuad, Filsafat Ilmut,  Jakarta : Rineka Cipta, 2010.
Sumarna Cecep, Filsafat Ilmu dan Hakikat Menuju Nilai, Bandung: Pustaka Bani Quraisy, 2006.
The American college dictionary, C.L Barnhart, editor-in-chief, 1958
Henry W. Johnstone, Jr, What is Philosophy, Introduction,1968.
Jafar Zulkarnaen, Epistemologi Ilmu Pengetahuan, dalam http://zulkarnaenjafar.blogspot.com/2011/10/epistemologi-ilmu-pengetahuan.html 2 Desember 2011.
Lubis M. Solly, Filsafat Ilmu dan Penelitian, Bandung : Mandar Maju, 1994.
Wijaya, Cuk Ananta, Pengantar Epistemologi Obyektif, Yogyakarta: Bentang Budaya, 2003.
Kamus Besar Indonesia, Jakarta: Balai Pustaka, 2002.
Salam, Burhanuddin, Pengantar Filsafat,  Jakarta: Bumi Aksara, 2000.
Saifuddin Anshari, Endang, Ilmu Filsafat, Surabaya: PT Bina Ilmu, 1979.
Sumantri, Jujun S. Filsafat Ilmu sebuah pengantar Populer, Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 2003.
Gie, The Liang Pengantar Filsafat Ilmu, Yogyakarta : Liberty Yogyakarta, 2000.






EPISTEMOLOGI ILMU PENGETAHUAN
DIAJUKAN UNTUK MEMENUHI   MATA KULIAH
“ Filsafat Ilmu


 








Dosen Pengampu :
MASDAR HILMY, MA, Ph.D
Oleh :
MOH. KHOLID
NIM: FO 5411 127


PENDIDIKAN ISLAM
PASCASARJANA
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI SUNAN AMPEL SURABAYA
TAHUN 2012






[1] Surajiyo, Ilmu filsafat Suatu Pengantar,(Jakarta : Bumi Aksara, 2009 ), 53.
[2] Sudarsono, Ilmu Filsafat Suatu Pengantar ,( Jakarta : Rineka Cipta, 2001 ), 137.
[3] Ibid. 138
[4] Ibid. 138
[5] Cuk Ananta Wijaya, Pengantar Epistemologi Obyektif, (Yogyakarta: Bentang Budaya, 2003).
[6] Lihat Kamus Besar Indonesia,(Jakarta: Balai Pustaka, 2002).
[7] Nina M. Armando, Ensiklopedi Islam, (Jakarta: Ictiar Baru van Hoeve, 2005), 161
[8] Burhanuddin Salam, Pengantar Filsafat, (Jakarta: Bumi Aksara, 2000), 6. Lihat juga Endang Sifuddin Anshari, Ilmu Filsafat, (Surabaya: PT Bina Ilmu, 1979), 45-46
[9] Ibid, 6
[10] Dr. A. Sudiarja, Karya Lengkap Driyarkara Esai-esai Filsafat Pemikir yang Terlibat Penuh dalam Perjuangan Bangsanya, (Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama, 2006), 14-15.
[11] Jujun S. Sumantri, Filsafat Ilmu sebuah pengantar Populer, (Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 2003), 104
[12] Cecep Sumarna, Filsafat Ilmu dan Hakikat Menuju Nilai, (Bandung: Pustaka Bani Quraisy, 2006),  95
[13] Ahmad warson Munawwir, Kamus Arab Indonesia, (Yogyakarta: PP Munawwir,1984), 1036
[14] The American college dictionary, C.L Barnhart, editor-in-chief, 1958, p. 1086.
[15] The Liang Gie, Pengantar Filsafat Ilmu, (Yogyakarta : Liberty Yogyakarta, 2000), 85
[16] Ibid, 189
[17] Wikipedia bahasa Indonesia, Ensiklopedia Bebas
[18] Endang Sifuddin Anshari, Ilmu Filsafat & Agma, (Surabaya: PT Bina Ilmu, 1979), 49
[19] The Liang Gie, Pengantar Filsafat Ilmu, (Yogyakarta : Liberty Yogyakarta, 2000), 86-88
[20] Surajiyo, Ilmu filsafat Suatu Pengantar,(Jakarta : Bumi Aksara, 2009 ) 62
[21] Surajiyo, Ilmu filsafat Suatu Pengantar,(Jakarta : Bumi Aksara, 2009 ), 57.
[22] Zulkarnaen Jafar, Epistemologi Ilmu Pengetahuan, dalam http://zulkarnaenjafar.blogspot.com/2011/10/epistemologi-ilmu-pengetahuan.html ( 2 Desember 2011 ),
[23] Ibid, 60-61
[24] Zulkarnaen Jafar, Epistemologi Ilmu Pengetahuan, dalam http://zulkarnaenjafar.blogspot.com/2011/10/epistemologi-ilmu-pengetahuan.html ( 2 Desember 2011 ),
[25] Fuad Ihsan, Filsafat Ilmut,( Jakarta : Rineka Cipta, 2010 ), 113.
[26] Ibid.,116
[27] M. Solly Lubis, Filsafat Ilmu dan Penelitian,(Bandung : Mandar Maju, 1994) 11
[28] Fuad Ihsan, Filsafat Ilmut,( Jakarta : Rineka Cipta, 2010 ) hlm. 136-137

Tidak ada komentar:

Posting Komentar